Rabu, 10 Juni 2009

SASTRA TUTUR SUMATERA SELATAN: MEDIA INOVATIF PEMBELAJARAN MULTIBAHASA

SASTRA TUTUR SUMATERA SELATAN: 
MEDIA INOVATIF PEMBELAJARAN MULTIBAHASA 

Izzah 

1. PENDAHULUAN
 Sumatera Selatan sebagai salah satu provinsi di Indonesia tidak saja memiliki kekayaan alam, tetapi juga memiliki kekayaan budaya, bahasa, dan sastra tutur (sastra lisan). Di Palembang, misalnya, dikenal adanya sastra tutur berupa dongeng dan nenggung. Lain lagi dengan di beberapa daerah sekitar Palembang, seperti adanya Rejung, Guritan, Betadut, dan Tangis Ayam di Lahat dan Pagaralam. Daerah Ogan Komering Ulu terkenal dengan Bujang Jelihim. Ogan Komering Ilir terkenal dengan Jelihiman, Bujang Jemaran, dan Nyanyian Panjang, dan Musi Banyuasin terkenal dengan Senjang (www2.kompas.com/kompas-cetak/0505/06/sumbagsel/1733473.htm). 
 Namun, sangat disayangkan bahwa kekayaan sastra tutur ini tidak signifikan dengan usaha pemerintah untuk melestarikan dan mendokumentasikannya. Di samping itu, dalam pembelajaran di sekolah-sekolah pun guru tidak menaruh perhatian penuh terhadap keberadaan sastra tutur. Menurut Ratnawaty (www2.kompas.com/kompas-cetak/0505/06/sumbagsel/1733473.htm) dari 100 guru yang diobservasi, hanya 40% yang tahu nama-nama dan jenis-jenis sastra tutur Sumatera Selatan. Di Palembang, misalnya, tidak banyak yang tahu cerita tentang Putri Dayang Merindu dan Putri Pinang Masak karena tidak banyak lagi yang menuturkan cerita itu. 
 Menurut Bayu (www2.kompas. com/kompas- cetak/ 0603/ 15/ humaniora /2507086.htm) sastra tutur telah mengalami krisis regenerasi. Di Palembang diperkirakan hanya ada sepuluh orang saja yang merupakan penutur aktif cerita rakyat (dongeng), itu pun telah berusia renta, rata-rata di atas 70 tahun. Kepiawaian bercerita ini didapatkan mereka secara turun-temurun. Namun, anak keturunan mereka tampaknya enggan meneruskan tradisi ini karena beberapa hal, antara lain 1) tidak banyak yang berminat mendengarkan sastra tutur dan 2) teknik bercerita pada sastra tutur ini kalah jauh dibandingkan dengan teknologi audio visual saat ini.
 Ade Karyana, selaku Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Sumatera Selatan pun berpendapat senada. Menurutnya, keberadaan sastra tutur, seperti Dul Muluk, Wayang Kulit Palembang, dan mendongeng nyaris punah (http://web.bisnis.com). Melihat kenyataan ini, UNESCO mengutus Karen Smith, dari Australia dan Yushi Simishu, dari Jepang, untuk menyelamatkan tradisi lisan masyarakat Palembang yang telah diwariskan nenek moyang secara turun-temurun. 
 Upaya penyelamatan dan pelestarian sastra tutur ini dipandang sangat penting karena, menurut Nasir (www.sastra-indonesia.com) sastra tutur tidak hanya berisi cerita dongeng, tetapi sarat dengan filosofi hidup, memuat cerita sejarah, dan mengandung nilai-nilai pendidikan, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai agama.
 Sementara itu di kelas, menurut Yunuar (2002:9) di sekolah hasil belajar siswa dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia cenderung rendah jika dilihat dari kemampuan komunikatif (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis, termasuk apresiasi sastra). Rendahnya mutu lulusan itu, menurut Rahman (2000), antara lain, disebabkan rendahnya minat siswa terhadap pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Minat yang rendah itu dipengaruhi oleh pola pembelajaran yang diciptakan guru di dalam kelas yang cenderung monoton. Selain itu, siswa menganggap bahwa pelajaran bahasa Indonesia tidak lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan bahasa asing. Ditambah lagi, banyak orang berpendapat bahwa mengapresiasi sastra dianggap suatu pekerjaan yang tidak bermanfaat dan penuh kesia-siaan (Sadikin, 2001). Akibatnya, di mata siswa pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia merupakan pelajaran yang membosankan.
 Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa masalah yang perlu dibahas dalam tulisan ini, yaitu 1) upaya apa yang dapat dilakukan untuk melestarikan sastra tutur Sumatera Selatan, dan 2) menghadapi tantangan globalisasi, bagaimanakah sastra tutur Sumatera Selatan dapat menjadi salah satu media alternatif pembelajaran multi- bahasa? 




2. PELESTARIAN CERITA PROSA RAKYAT 
 Tradisi lisan Sumatera Selatan sangatlah luas bagaikan hutan belantara yang belum sempat terambah secara menyeluruh. Tradisi lisan (sastra tutur) ini masih memerlukan sentuhan kaum intelektual untuk menggali, mengumpulkan, mengklasifikasikan, dan menganalisisnya karena di dalamnya terkandung potensi dan fakta. Menurut Edy Sedyawaty (http://kampoengilir.blogspot.com) potensi dan fakta itu meliputi 1) sistem genealogi, 2) kosmologi dan kosmogoni, 3) sejarah, 4) filsafat, etika, dan moral, 5) sistem pengetahuan (local knowledge), dan 6) kaidah kebahasaan dan kesastraan.
 Menurut Vebri Al Lintani (www.nu.or.id) sastra tutur bukan saja sebagai hiburan dan tontonan. Lebih jauh lagi manfaat sastra tutur adalah sebagai tuntunan bagi masyarakat karena di dalamnya sarat akan nilai-nilai yang luhur yang diajarkan dan dianjurkan nenek moyang secara implisit. Misalnya ada sastra tutur yang berfungsi menghibur anggota keluarga yang sedang dirundung duka karena salah satu anggota keluarganya mengalami musibah kematian. Bentuk sastra tutur yang demikian ini adalah guritan dari suku Besemah. Selain menghibur anggota keluarga yang ditinggalkan, sastra tutur yang satu ini juga berfungsi untuk memberikan nasihat agar tabah dan sabar dalam menghadapi musibah.
Budaya bercerita yang berselimutkan menanamkan nasihat-nasihat yang berguna itu kian jarang dijumpai, padahal bercerita merupakan salah satu media ampuh dan sangat potensial untuk menanamkan berbagai nasihat yang memuat nilai-nilai akidah dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan bertuhan, beragama, dan bermasyarakat. Beberapa nilai kehidupan ini, antara lain, dapat digali melalui karya sastra. Dulu, budaya bercerita lisan senantiasa dilakukan para orang tua (Soetopo, 2006). Sambil mengusap-usap kepala anaknya, mereka bercerita tentang para nabi, tokoh-tokoh/pejuang terkenal, dan ulama-ulama terkenal, mereka juga bercerita tentang cerita rakyat tertentu, kalau di Sumatera Selatan, misalnya Dempu Awang, Kuali Panjang, Ayam Item, Bujang Jelihim, Si Pahit Lidah Si Mata Empat, dan Pak Pandir. 
 Masih menurut Soetopo (2006) melalui cerita, tidak hanya informasi kognitif yang dapat diterima anak, mereka pun memperoleh informasi afektif yang dapat mengukir tingkah laku dan akhlak mereka. Nilai-nilai ini sangat sulit ditularkan melalui komunikasi dengan bahasa yang menggurui. Akan tetapi, bermediakan cerita rakyat, nilai-nilai ini tidak akan terasa menggurui, bahkan lambat laun dapat meresap dan mengurat nadi di dalam jiwa pendengarnya. Buktinya, para orang tua dan para pendahulu kita senantiasa membudayakan bercerita sebagai media memberikan nasihat dan memasukkan berbagai nilai kehidupan pada masa dahulu, di samping menjadikannya sebagai media hiburan. Inilah yang diungkapkan Horace (dalam Suharianto, 1982) yang menyatakan bahwa karya sastra memiliki dulce et utile ‘menghibur dan memberikan manfaat’. Dengan demikian, melalui media bercerita ini diharapkan para pendengarnya (anak/siswa) menjadi pribadi yang santun dalam berkata dan pribadi yang arif dalam bertindak. 
 Akan tetapi, budaya bercerita tampaknya telah mulai luntur dan kendur. Tidak hanya di rumah-rumah sebagai pengantar tidur, budaya bercerita pun agaknya menjadi budaya yang langka di sekolah-sekolah. Oleh sebab itu, multi- krisis pun mulai melanda bangsa kita, termasuk krisis akhlak. 
 Sastra tutur atau sastra lisan merupakan genre sastra yang dituturkan dari mulut ke mulut, tersebar secara lisan, anonim, dan mengambarkan kehidupan masa lampau. Sastra tutur/sastra lisan meliputi bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat (Danandjaja, 1984).
  Cerita prosa rakyat Sumatera Selatan yang masih hidup hingga saat ini antara lain adalah cerita tentang Puyang-Puyang. Cerita tentang Puyang hampir terdapat di seluruh daerah di Sumatera Selatan. Misalnya Puyang Belulus (Besemah), Puyang Siak Mandi Api (Besemah), Puyang Depati Konedah (Musi), Puyang Remanjang Sakti (Enim), dan Puyang Gadis (Lematang). Selain itu, hampir di tiap daerah di Sumatera Selatan terdapat cerita Pak Pandir, misalnya Pak Pandir dan Harimau (Palembang) dan Pak Pandir Pergi Memancing (Besemah). Di samping itu, cerita prosa rakyat Sumatera Selatan juga memiliki kisah tentang Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat dalam berbagai versi, baik dalam versi bahasa Melayu Palembang, Bahasa Besemah, Bahasa Kayu Agung, Bahasa Musi, maupun bahasa-bahasa daerah yang ada di Sumatera Selatan lainnya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991).
Sebenarnya telah ada upaya pemerintah melalui pihak terkait untuk melakukan pelestarian sastra tutur, antara lain, dengan adanya Festival Sastra Tutur Sumatera Selatan yang dilakukan tiap tahunnya. Pada festival ini ditampilkan penutur-penutur sastra lisan dari berbagai daerah, termasuk kota Palembang, untuk menampilkan kebolehannya. Sayangnya, kegiatan semacam ini hanya dipenuhi beberapa pelajar dan sejumlah guru pengantar mereka. Pejabat yang terkait tidak banyak yang datang walaupun mereka telah diundang, menurut Nurhayat Arif Permana, Ketua Majelis Seniman Sumsel (www.sastra-indonesia.com) .
 Pada Sabtu 22 Mei 2009 lalu para pelajar yang berjumlah kurang lebih 200 orang menghadiri Festival Sastra Tutur di Auditorium Radio Republik Indonesia Stasiun Palembang. Selaku Ketua Majelis Seniman Sumsel, Permana mengaku kecewa karena pemerintah yang semestinya “mengamankan” dan membina keberadaan sastra tutur tidak banyak yang menghadiri acara ini. 
 Pelestarian sastra tutur memang tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri atau oleh kelompok tertentu saja. Kegiatan ini harus dilakukan berjamaah. Menurut Rahman (http://news.okezone.com) bangsa kita cenderung ingin melakukan sesuatu secara individual. Ini mungkin bias dari penjajahan Belanda. Sebagai contoh, van ophuysen, nyaris sendirian membawa bahasa Melayu Riau menjadi bahasa Indonesia (walaupun itu bermuara baik). Begitu pula W.J.S. Poerwadarminta yang nyaris sendirian memasukkan beberapa kosakata ke dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang cenderung diamini saja oleh bangsa Indonesia yang notabene menggunakan bahasa Indonesia. Berbeda dengan di Oxford, Rahman menyatakan bahwa untuk memasukkan satu kosakata saja, mereka membahasnya secara berjamaah, tidak dilakukan secara per orangan.  
 Demikian pula pada sastra tutur. Tidak mungkin akan “terselamatkan”jika masyarakat Sumatera Selatan bekerja sendiri-sendiri. Masing-masing pihak yang merasa bertanggung jawab lalu berbuat untuk mengkodifikasi dan melestarikan sastra tutur. Sementara pihak lain, termasuk pemerintah, guru, dan masyarakat Sumatera Selatan secara umum, tidak merasa berkepentingan untuk itu.
 Menurut Jalaluddin (http://news.okezone.com), mantan Rektor IAIN Raden Fatah Palembang, sastra tutur bukan saja warisan budaya yang dapat dituturkan secara turun- temurun. Akan tetapi, sastra tutur dapat dipelajari. Al Lintani ((www.sastra-indonesia.com) mendukung pendapat itu. Menurutnya, sastra tutur dapat dimasukkan dalam kurikulum muatan lokal. Dengan demikian, pelestariannya pun dibuat secara terencana dan terprogram, sehingga jelas kompetensi yang hendak dicapai melalui indikator-indikator yang telah dirembukkan bersama pihak terkait, yakni pemerintah (selaku pengambil kebijakan), guru (selaku ujung tombak pendidikan), dan siswa (selaku subjek pembelajaran).
 Amran Halim (http://news.okezone.com), mantan Rektor Universitas Sriwijaya, menambahkan bahwa jika sastra tutur Sumatera Selatan ingin benar-benar hidup dan dilestarikan hendaklah ada upaya yang serius untuk melakukan revitalisasi. Ada dua cara revitalisasi yang ditawarkan beliau, yaitu 1) merevitalisasi sastra tutur dan 2) merevitalisasi masyarakat pendukungnya.

3 . MEDIA ALTERNATIF PEMBELAJARAN MULTIBAHASA
 Diskursus mengenai pemisahan pembelajaran bahasa dengan pembelajaran sastra hingga saat ini masih ditemukan di sekolah-sekolah dari tingkat dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Ketidakharmonisan antara pembelajaran bahasa dengan pembelajaran sastra, antara lain, disebabkan bahwa guru lebih mengejar target agar siswa dapat menjawab soal-soal ujian Bahasa Indonesia yang umumnya lebih banyak berkisar pada unsur bahasa daripada sastra. Pembelajaran sastra cenderung tidak dianggap sebagai pemerkaya pembelajaran bahasa (John, 1986:18).
 Inderawati (2002) mendukung pendapat itu. Menurutnya, sastra telah diperlakukan secara “kurang adil” di seluruh jenjang pendidikan. Sebenarnya, pembelajaran sastra akan lebih bermakna bila diajarkan berdampingan dengan pengajaran bahasa (Widdowson, 1985). Pernyataan ini juga memperkuat pandangan Alwasilah (2002) bahwa bahasa dan sastra tidak boleh dianggap sebagai dua kutub yang berbeda. Pengajaran sastra tidak dapat dipisahkan dari pengajaran bahasa meskipun tampaknya kompetensi-kompetensi dasarnya tampak terpisah. 
 Carter dan Long (1991:2) menguatkan pendapat mengenai integrasi antara pembelajaran bahasa dan sastra. Menurutnya, keterampilan berbahasa siswa dapat dikembangkan dengan cara yang sistematik apabila sastra diajarkan berdampingan dengan bahasa. Jadi, kedua kompetensi itu tidak berdiri sendiri-sendiri apalagi dipisahkan.
 Era globalisasi “memaksa” bangsa kita untuk menerima produk luar, termasuk bahasa dan budaya asing. Adalah hal yang klise jika kita mengangkat permasalahan “jauhkan bahasa asing untuk mencintai bahasa Indonesia”. Sebaliknya, hal yang manusiawi dan cenderung inovatif adalah dengan menerima bahasa dan budaya asing dengan filter yang kuat. 
Kini bahasa asing (dalam hal ini bahasa Inggris) sejak Taman Kanak-Kanak diperkenalkan, bahkan dipakai sebagai bahasa pengantar di beberapa TK di Indonesia. Bahasa ini dipakai hingga tingkat Perguruan Tinggi, bahkan beberapa sekolah membuat sistem pendidikan dwibahasa (bilingual). Hal semacam ini lumrah terjadi untuk mengantisipasi era pasar bebas. Akan tetapi, adanya budaya lokal, termasuk sastra tutur, dapat menjadi filter dalam menghadapi era globalisasi itu.
Karya sastra (baca: sastra tutur) yang dikumpulkan dan dicetak nantinya dalam tiga bahasa, yakni bahasa daerah setempat, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris sekaligus dapat menjadi media dalam pembelajaran tata bahasa pada ketiga bahasa itu. “Warna lokal” yang kental akan sangat berpengaruh pada pribadi yang membaca karya sastra itu, walaupun karya tersebut dibalut dan dilengkapi dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
 Pembelajaran bahasa memang terasa mnoton jika contoh kalimatnya yang itu-itu saja. Akan tetapi, jika bermediakan karya sastra (baca: cerita prosa rakyat Sumatera Selatan) yang telah dicetak/diterbitkan, pembelajaran bahasa terasa lebih hidup (Muslim, 2006). Siswa dapat belajar kalimat tunggal, kalimat majemuk, kalimat langsung dan tidak langsung dari kalimat-kalimat yang disajikan dalam karya sastra. Demikian pula pembelajaran kosakata. Baik kosakata bahasa daerah, bahasa Indonesia, maupun bahasa Inggris dapat dengan mudah dipelajari melalui teks sastra.
 
4. INOVASI MELALUI REPRODUKSI
 Menulis atau menceritakan kembali dengan gaya bahasa masing-masing individu merupakan salah satu devinisi reproduksi. Selain itu, mereproduksi dapat pula bermakna membuat cerita baru berdasarkan cerita yang pernah didengar atau dibaca. Beberapa teknik reproduksi karya sastra yang inovatif, termasuk cerita prosa rakyat Sumatera Selatan, adalah 1) mengganti tokoh cerita dengan nama siswa, 2) merekam, 3) mementaskan, 4) membuat film, dan 5) membuat cerita bergambar.

4.1 mengganti tokoh cerita dengan nama siswa
Bentuk reproduksi karya sastra itu bermacam-macam bergantung pada kreativitas orang per orang. Muslim (2006), misalnya, mereproduksi cerita dengan cara mencari cerita pendek yang sesuai dengan usia dan jenjang pendidikan siswa lalu mengganti nama-nama tokoh dengan nama-nama siswa yang ada di kelas yang diampunya. 
Menurutnya, dampaknya sungguh luar biasa. Suasana kelas menjadi hidup. Selain itu, keantusiasan siswa dalam mengapresiasi sastra bukan isapan jempol belaka. Hal ini sebagaimana diungkapkan Ismail (2008) yang menyatakan bahwa animo siswa terhadap sastra sungguh luar biasa. Sebaiknya, keantusiasan siswa ini diikuti dengan tersedianya buku-buku sastra di perpustakaan.
Cerita prosa rakyat Sumatera Selatan pun dapat dijadikan media pembelajaran berrbicara dan menulis yang kreatif dengan mengganti nama tokoh dengan nama siswa di kelas itu.

4.2 merekam 
 Pada tahap ini cara yang pernah penulis lakukan adalah menugasi mahasiswa semester 1 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Sriwijaya untuk merekam salah satu cerita prosa rakyat yang ada di Sumatera Selatan (Izzah, 2008). Caranya, beberapa mahasiswa ini mencari cerita rakyat yang hidup atau pernah ada di Sumatera Selatan. Setelah itu, mereka membuat skrip sebagai bahan rekaman. Di dalam skrip telah tertulis berapa jumlah tokoh, nama-nama tokoh, siapa yang memerankan tokoh apa, suara-suara yang mendukung isi rekaman, seperti suara kecipak air, suara jangkrik, suara gemuruh, dan alunan musik pengiring penambah nilai estetika dalam cerita.
 Selanjutnya, siswa boleh merekam sendiri atau memakai jasa operator rekaman di salah satu studio rekaman/radio. Hasil rekaman lalu diceritakan kembali oleh kelompok lain, dikomentari, dan direspon, sehingga secara tidak langsung telah menjadi media pembelajaran bahasa dan sastra yang komunikatif dan integratif.

4.3 Mementaskan
 Reproduksi cerita dapat berbentuk pementasan. Bahan baku ceritanya adalah cerita prosa rakyat Sumatera Selatan. Seperti pada uraian 4.2, pementasan didahului dengan membuat skrip secara lengkap. Selanjutnya, siswa dapat memperlihatkan kebolehan mereka di depan kelas, di atas pentas acara perpisahan, atau boleh juga dengan cara mengadakan perlombaan/festival pementasan cerita prosa rakyat Sumatera Selatan.

4.4 membuat film
Beberapa waktu lalu tokoh Si Pahit Lidah pernah dilayarlebarkan. Tokoh legendaris dalam cerita rakyat Sumatera Selatan ini sempat menarik perhatian masyarakat untuk menyaksikan cerita versi layar lebarnya. Berikutnya, menyusul cerita Pak Pandir. Pemerintah daerah bekerja sama dengan salah satu rumah produksi dari Jakarta berhasil membungkus cerita rakyat ini menjadi tontonan yang mengasyikkan.

4.5 membuat cerita bergambar
 Saat ini bahan bacaan anak dipenuhi dengan kartun-kartun buatan luar negeri. Lihat saja Sinchan, Doraemon, Dragon Ball, Detektif Conan, dan Naruto. Cerita ini dikemas dengan bahasa yang lugas, sederhana, tetapi dilengkapi dengan harmonisasi teknik gambar yang mampu “menggoda” anak-anak untuk membacanya. Padahal, boleh dikatakan bahwa di dalamnya tidak ada muatan nilai moral. Bahkan Crayon Sinchan, komik produksi Jepang ini, terkesan amoral karena beberapa di antara dialognya menyuguhkan sesuatu yang seharusnya dikonsumsi orang dewasa.
 Sehubungan dengan itu, Trisman (2006) mengungkapkan bahwa Sumatera Selatan bukan hanya memiliki multibahasa, tetapi juga memiliki multibudaya, seperti cerita prosa rakyat. Cerita prosa rakyat inilah, menurutnya, dapat dijadikan alternatif bahan baku cerita bergambar. Di samping dapat dijadikan bahan bacaan bermutu, kartun yang mengandung nilai-nilai luhur ini juga dapat dijadikan alternatif media pembelajaran Bahasa dan sastra Indonesia. 
 Lebih jauh lagi, cerita bergambar ini juga dapat dibuat dalam beberapa bahasa. Misalnya, bahasa daerah itu sendiri, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Dengan demikian, dalam pembelajaran pun berlaku pepatah, “Sekali merengkuh dayung, semua pulau terlampaui”. 

5. PENUTUP
 Sumatera Selatan yang kaya akan sastra tutur, termasuk cerita prosa rakyat bukan tidak mungkin suatu saat dapat dilestarikan dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat, yakni pemerintah, pecinta seni dan budaya, guru, dan masyarakat Sumatera Selatan. Pelestarian cerita prosa rakyat ini diharapkan sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan cara reproduksi. Paling tidak ada lima cara reproduksi yang ditawarkan, yaitu 1) mengganti tokoh cerita dengan nama siswa, 2) merekam, 3) mementaskan, 4) membuat film, dan 5) membuat cerita bergambar.
 Hasil reproduksi yang inovatif ini cenderung menarik dan dapat dijadikan media alternatif pembelajaran bahasa dan sastra secara terpadu. Di samping itu, penerbitan buku dalam tiga bahasa (daerah, Indonesia, dan Inggris) akan sangat membantu menjadi media pembelajaran multibahasa.











DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 2002. “Memanusiakan Ilmu Bahasa,” Pikiran Rakyat. Bandung, 22 Juni 2002.

Bisnis Indonesia. “Wayang Palembang Punah: Dalang Berbahasa Melayu Palembang Habis”. (http://web.bisnis.com, diakses 10 Juni 2009).

Inderawati, Rita. 2002. “Pengembangan Kualitas Pembelajaran Sastra sebagai Seni Bahasa dalam Menggali Nilai-nilai Budaya di Perguruan Tinggi.” Makalah. Dipresentasikan dalam Forum Sastra dan Budaya II di UPI Bandung, 24-26 Oktober 2002.

Ismail, Taufik. 2008. www.suarakarya-online.com., diakses 19 November 2008.

Izzah. 2009. “Ada Apa dengan Sastra”. Makalah disajikan pada Seminar Bahasa dalam Rangka Bulan Bahasa. Palembang, 22 November 2009.

John, Joseph. 1986. “Language versus Literature in University English Departments.” English Teaching Forum. Vol. XXIV/4.

Kompas. 2005. “Sastra Tutur Sumsel Makin Ditinggalkan” (www2.kompas.com/kompas-cetak/0505/06/sumbagsel/1733473.htm, Jumat, 6/5/05, diakses 10 Juni 2009).

Kompas. 2006. “Seniman Sastra Tutur Sumsel Makin Berkurang” (www2.kompas.com/kompas-cetak/0603/15/humaniora/2507086.htm, Rabu, 15/3/2006, diakses 10 Juni 2009).

M.S.R., Muslim. 2006. “Upaya Menciptakan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang Rekreatif dalam Puspa Ragam Bahasa dan Sastra: Seuntai Karangan untuk Drs. H. Zainal Abidin Gaffar. Palembang: Universitas Sriwijaya.

Nasir, Muhamad. 2009. Nasib Sastra Lisan Dikalahkan Biduan. (www.sastra-indonesia.com, diakses 9 Juni 2009).

Rahman, Arpan. 2007. Sastra Tutur sebagai Teknologi Lisan. (http://news.okezone.com, diakses 9 Juni 2009)

Soetopo, Soengkowo. 2006. “Kekuatan Cerita dalam Pembentukan Nilai Pribadi Pembelajar” dalam Puspa Ragam Bahasa dan Sastra: Seuntai Karangan untuk Drs. H. Zainal Abidin Gaffar. Palembang: Universitas Sriwijaya.



Suharianto, S. 1982. Dasar-Dasar Teori sastra. Surakarta: Widya Duta.

Trisman, B. 2006. “Kehadiran Cerita Bergambar Bersumber dari Cerita Rakyat Sumatera Selatan: Sebuah Harapan” dalam Puspa Ragam Bahasa dan Sastra: Seuntai Karangan untuk Drs. H. Zainal Abidin Gaffar. Palembang: Universitas Sriwijaya.

Widdowson, H.G. 1985. “The Teaching, Learning, and Study Literature.” Dalam Quirk, R. dan H. Widdowson, English in the World: Teaching and Learning the Language and Literature. London: Cambridge University Press.

1 komentar:

  1. Saya suka sekali dengan tulisan Bu Izzah, terutama kajian terhadap sastra tutur di Sumatera Selatan. Pembelajaran sastra di sekolah seakan 'dianaktirikan', komposisi materi hanya 30%, tidak berimbang dengan materi bahasa Indonesia. Lihat saja soal Ujian Nasional tahun lalu. Dari 50 soal hanya 14 soal saja bermuatan sastra.
    Tulisan Ibu menambah pencerahan bagi saya. Update terus ya, Bu, blognya. Tks.

    BalasHapus