Rabu, 10 Juni 2009

HELMI YAHYA DAN UJIAN KELUARGA BESAR KITA

HELMI YAHYA DAN UJIAN KELUARGA BESAR KITA
Izzah Zen Syukri, S.Pd., M.Pd.*

 Sosok Helmi Yahya beserta kasus yang tengah dihadapinya menggelitik saya untuk menuangkan untaian kata yang mungkin bermanfaat untuk umat Islam, khususnya dan masyarakat umumnya, terutama yang telah berkeluarga. Saat ini keluarga Helmi Yahya sedang dirundung “malapetaka”, suatu ujian Allah yang bukan tidak mungkin bisa menimpa siapa saja, keluarga mana saja, dan di mana pun mereka berada. 
 Kala terjadi ta’aruf antara dua insan yang berlainan jenis dan menimbulkan getar-getar cinta hingga menuju mahligai rumah tangga terjadilah ijab kabul antara orang tua calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria. Terjadilah mitsaqon gholizho, “perjanjian yang kokoh” antara seorang hamba kepada Khaliknya untuk memikul tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga, “menggantikan” ayah yang selama ini mengasihi, menjaga, dan melindungi putrinya. Wajarlah jika para jamaah yang hadir pada prosesi itu bersama-sama melantunkan doa Bismillahi majreehaa wa mursaaha inna Robbi laghofuururr rohiim” . 
Mulai saat itulah terjadi pengambilalihan “kekuasaan” bagi wanita yang telah berstatus istri. Suami menjadi satu-satunya nakhoda, sementara istri menjadi penumpang pertamanya. Hal ini senada dengan firman Allah di surat Annisa’, ayat 34 yang berbunyi
Arrijaalu quwwamuuna ‘alan nisaa’ bimaa fadhdholallahu ba’dhohum ‘alaa ba’dhin wabimaa anfaquu min amwaalihim ‘Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena Allah telah melebihkan mereka (kaum lelaki) melebihi yang lain (kaum perempuan) dan karena kelebihan mereka (kaum lelaki) dalam hal manafkahkan sebagian harta’. 
Sungguh indah Allah ciptakan manusia menjadi sepasang pengantin yang akan merajut hari-hari bersama dalam sebuah biduk di tengah samudera. Akan tetapi, biduk tidak selamanya berlayar di samudera yang tenang. Suatu saat mungkin ada gelombang, mungkin angin datang menyerang, mungkin pula gemuruh badai menghadang.  
Paling tidak ada dua hal yang dapat dilakukan kedua penumpang ini untuk mengatasi berbagai gelombang, yaitu 1) saling menguatkan, saling memberi semangat, saling memotivasi dan 2) tawakkal alallah ‘berserah diri hanya kepada Allah’. Ada satu keyakinan bahwa badai tidak selamanya menghadang, cobaan akan ringan jika dihadapi bersama, dan bahwa bersama kesulitan akan ada kemudahan dari Allah (inna ma’al ‘usrii yusroo). 
Yang menjadi masalah dasar sebuah keluarga adalah sering kali mereka lalai. Mereka lupa kepada pasangan yang diamanatkan Allah kepada mereka. Mereka tidak saling menjaga, tidak saling menghormati, dan tidak saling melengkapi, padahal Allah secara jelas mengirimkan surat Albaqoroh yang salah satu ayatnya berbunyi Hunna libaasullakum wa antum libaasul lahunn ‘Mereka (perempuan) adalah pakaian bagimu dan kamu (laki-laki) adalah pakaian bagi mereka’. Fungsi utama pakaian adalah untuk menutup aurat. Tidak etis, bahkan haram hukumnya jika suami membeberkan keburukan istri di muka publik, demikian pula sebaliknya. Membeberkan aib sama halnya dengan menelanjangi pasangan dan membuka aurat pasangan.
Menurut para cerdik pandai wanita tidak diciptakan dari tulang kepala. Mereka tidak berhak menjadi kepala rumah tangga. Wanita tidak diciptakan dari tulang kaki. Karena itu, mereka tidak boleh diinjak. Akan tetapi, mereka diciptakan dari tulang rusukmu. Jadi, mereka sesungguhnya tercipta untuk mendampingimu, untuk berada di sisimu. Namun, Nabi Muhammad Saw. jelas-jelas berpesan kepada kaum laki-laki, bahkan hingga detik-detik Beliau akan meninggalkan kefanaan dunia. Wasiat utamanya adalah wanita, wanita, dan wanita. 
Pada dasarnya wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Jika diluruskan secara paksa, dia akan patah. Jika tidak diluruskan dia akan tetap bengkok. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw Wastaushuu bin nisaai khiron, fainna hunna khuliqna min dhila’in. Wainna a’waja syay in fidh dhilaa’i a’laah. Wain dzahabta tuqiimuhu kasartahu wain taroktahu lam yazal a’waja fastaushuu binnisaai khoiron. Artinya, ‘Nasihatilah kaum wanita dengan baik. (Ketahuilah bahwa) sesungguhnya mereka itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan sesungguhnya kebengkokan tulang rusuk itu melebihi (kebengkokan) sesuatu (yang lain). Jika kamu meluruskannya secara paksa, niscaya patahlah ia. Dan jika kamu biarkan niscaya ia takkan bergeser dari kebengkokannya. Maka nasihatilah kaum wanita dengan baik’ (hadis riwayat Muttafaq alaih)
Ada dua hal yang pelu dicermati suami mengenai pesan Nabi itu. Pertama, pentingnya nasihat dan bimbingan. Nasihat dan bimbingan hanya dapat dilakukan jika para suami memiliki waktu luang bagi istrinya. Wanita tidak cukup hanya diberi limpahan harta. Lebih dari itu, wanita sangat butuh kasih sayang, memerlukan perhatian. Bimbingan pun tidak bisa dilakukan tanpa frekuensi tatap muka yang memadai. Sesibuk apa pun suami harus tetap meluangkan waktu untuk istri (dan keluarganya).
Kedua, perlunya kehati-hatian. Para suami sebaiknya hati-hati dalam menyampaikan nasihat dan bimbingan. Istri-istri yang diperlakukan dengan ma’ruf insya Allah akan membalas akhlak suaminya dengan hal serupa pula. 
Ada banyak kasus dalam keluarga yang mungkin sebelumnya tidak dapat diprediksi. Hal ini wajar terjadi karena masing-masing individu berasal dari keluarga yang memiliki pola asuh dan pola didik yang berbeda. Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi saat saya mendengarkan nasihat perkawinan dari Bapak Rosihan Arsyad (mantan Gubernur Sumatera Selatan) bahwa pernikahan adalah lembaga koalisi dan negosiasi. Lembaga pernikahan pada dasarnya adalah lembaga suci untuk menyamakan persepsi, bukan untuk saling menguasai. Bukan pula untuk saling mengubah tingkah laku. Di sini berlaku tawashoubil haq dan tawashoubis shobr’saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran’.
Kita tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi dalam keluarga Helmi Yahya. Kita pun tidak dapat memvonis istrinya begitu saja. Bukan tidak mungkin ada pemicu sebelum terjadi musibah itu. Yang jelas, jika para suami tidak berada dalam rel Allah, dilengkapi dengan para istri yang juga kehilangan malu di hadapan Allah, apa pun mungkin terjadi. 
Para suami dan para istri hendaklah takut kepada Allah. Adalah benar yang dikatakan Prof. Amran Halim dalam suatu resepsi pernikahan bahwa tidak ada sekolah yang mendidik seseorang untuk mahir mengelola menejemen rumah tangga. Kembalilah ke menejemen yang dituangkan Allah dalam Alquran dilengkapi dengan anjuran Rasulullah Saw dalam beberapa hadisnya. Di samping itu, komunikasi harus terus dibina. Pernikahan ibarat tanaman yang bisa layu jika tidak disiram dan bisa mati jika hanya dibiarkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar